Pergi Takkan Kembali - Pembahasan Raṭṭhapāla Sutta
Puja Bakti Umum
Vihara Sasana Subhasita
Minggu, 05 Mei 2024
Dhammadesanā: YM. Bhikkhu Hitako
Tema Dhamma: PERGI TAKKAN KEMBALI – Pembahasan tentang Raṭṭhapāla Sutta
Penulis & Editor: Lij Lij
Namo tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa (3x)
Anekajātisaṁsāraṁ, sandhāvissaṁ anibbisaṁ. Gahakāraṁ gavesanto: dukkhā jāti punappunaṁ. Gahakāraka diṭṭhosi! Puna gehaṁ na kāhasi: sabbā te phāsukā bhaggā, gahakūṭaṁ visaṅkhataṁ, visaṅkhāragataṁ cittaṁ, taṇhānaṁ khayamajjhagā. - Jarāvagga 153-154 -
Aku mencari si pembuat rumah. Ketika tidak menemukan, mengarungi perkelanaan di banyak kelahiran. Adalah penderitaan terlahir berulang-ulang. Wahai pembuat rumah, engkau telah Kutemukan, tak dapat lagi engkau membuat rumah, pasak-pasak rumahmu telah Kupatahkan, atap rumahmu telah Kurobohkan, ciptaKu mencapai pada keberadaan ‘tanpa’ bentukan. Karena Aku telah mencapai kesirnaan ‘tanha’
Raṭṭhapāla Sutta (MN 82) mengisahkan Raṭṭhapāla, putera seorang brahmana di Thullakoṭṭhita negeri Kuru. Raṭṭhapāla yang masih muda belia memilih untuk menjadi seorang anagārika (orang yang tidak punya rumah, meninggalkan kehidupan perumahtangga kemudian menjadi seorang pertapa dengan rambut tercukur, memakai jubah kuning, dan mengembara / tidak menetap); setelah mendengarkan khotbah Sang Buddha mengenai 4 hal yaitu :
1. Hidup di dunia ini tidak stabil, mudah goyah dan tersapu oleh penuaan dan kematian
2. Hidup di dunia ini tiada tempat untuk berlindung
3. Segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang memiliki; diri ini bukan milik siapapun
4. Hidup di dunia ini tidak pernah ada puas nya, budak dari tanha / kegandrungan / kehausan
Keempat Ajaran ini menggugah hati Raṭṭhapāla dan memutuskan untuk mendapatkan penahbisan sebagai seorang Bhikkhu. Namun saat itu Raṭṭhapāla belum mendapatkan ijin dari kedua orangtua nya karena mereka hanya memiliki Raṭṭhapāla sebagai putra satu-satunya. Sampai tiga kali Raṭṭhapāla meminta ijin dibeberapa kesempatan berbeda namun tidak kunjung dikabulkan oleh orangtuanya. Hingga pada akhirnya Raṭṭhapāla berbaring di lantai dan mengatakan bahwa dirinya akan mati disini atau diperbolehkan menjadi Bhikkhu. Pada akhirnya kedua orangtuanya memberikan ijin. Raṭṭhapāla segera menemui Sang Buddha dan mendapatkan penahbisan penuh. Setengah bulan setelah penahbisan kemudian bersama dengan Sang Buddha menuju ke kota Sāvatthī dan menetap di hutan Jeta. Tidak lama kemudian, Bhante Raṭṭhapāla mencapai tingkat kesucian Arahat.
Suatu waktu Bhante Raṭṭhapāla meminta ijin untuk mengunjungi rumah orangtua nya. Sang Buddha menembus pikiran Raṭṭhapāla dan mengetahui bahwa Raṭṭhapāla tidak mungkin kembali ke kehidupan perumahtangga. Setelah mendapat ijin dari Sang Buddha, Bhante Raṭṭhapāla kembali ke rumahnya. Ketika Bhante Raṭṭhapāla berjalan untuk menerima dana makanan dari rumah ke rumah sampailah di depan rumah ayahnya sendiri, namun sang ayah tidak mengenalinya bahkan menolak memberikan dana makan seraya berkata bahwa karena pertapa gundul inilah maka putra tunggalku pergi meninggalkan rumah. Bhante Raṭṭhapāla kemudian berlalu dari rumah itu dan melihat seorang pelayan milik saudaranya yang sedang membuang bubur basi. Bhante Raṭṭhapāla mencegahnya dan meminta pelayan tersebut untuk menuangkan bubur basi tersebut ke dalam mangkuk patta. Ketika pelayan tersebut menuangkan bubur basi ke dalam patta, dia mengenali ciri-ciri dan suara Bhante Raṭṭhapāla sebagai putera majikannya. Pelayan itu pun segera memberitahukan kepada majikannya bahwa putera mereka sudah kembali. Alangkah bahagianya kedua orangtua tersebut. Singkat cerita ayahnya mengundang Bhante Raṭṭhapāla untuk kembali ke rumahnya dengan mempersiapkan makanan dan harta yang dimilikinya. Namun dengan tegas Bhante Raṭṭhapāla memberikan nasihat kepada ayahnya agar mengumpulkan semua harta benda tersebut ke dalam sebuah kereta dan menghanyutkannya di tengah arus sungai Gangga; Mengapa? Karena harta benda tersebut dapat menghancurkan kehidupan, akan memunculkan dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan. Kemudian mantan istri datang memeluk kakinya bertanya apakah Bhante Raṭṭhapāla tertarik kepada wanita lain sehingga pergi meninggalkannya. Jawaban tegas Bhante Raṭṭhapāla kepada saudarinya (mantan istri) bahwa tidaklah demikian. Setelah selesai menerima dana makan, Bhante Raṭṭhapāla pun kemudian pamit dan mengucapkan syair berikut ini,:
“Lihatlah sebuah boneka yang nampaknya saja indah, seonggok tubuh yang tersusun dari kerangka penyangga, sarang bagi penyakit, sebuah wujud yang mesti dipertimbangkan, dimana ketidakstabilan berdiam;
“Lihatlah sebuah onggokan yang tampaknya saja indah, dengan perhiasan dan anting-anting juga, sebuah tulang kerangka yang terbungkus menempel dekat dengan kulit, nampak indah karena pakaian yang melapisinya;
“Kakinya terhiasi dengan pewarna inai (kemerahan), dan dipupuri oleh bedak wajahnya, rambutnya teranyam dengan delapan ikat kepangan, dan salep perona mata dibalurkan di kelopak matanya, seonggok tubuh kotor yang menjijikan yang dihias dengan baik, layaknya gerabah yang baru saja diolesi dengan pewarna, hal ini mungkin akan memperdaya seorang yang dungu, tetapi tidak bagi seorang penglihat pantai seberang;
“Pemburu rusa memasang perangkap; tetapi rusa tidak melompat ke dalam perangkap itu; kami memakan umpan kemudian pergi; meninggalkan si pemburu rusa yang meratap sedih”
Perumpamaan ini menggambarkan Bhante Raṭṭhapāla yang memakan makanan di rumah kedua orangtuanya sendiri, namun tidak terjebak oleh ‘gemerlap’nya rumah itu, oleh harta yang melimpah, oleh wanita cantik ; tidak termakan oleh jebakan tersebut; karena sudah tahu bahwa semua itu akan membuat menderita dari satu kehidupan ke kehidupan berikutnya.
Setelah mengucapkan syair tersebut, Bhante Raṭṭhapāla pergi menuju taman Migācira milik Raja Koravya dan duduk di bawah sebatang pohon untuk melewatkan hari. Pada suatu hari seorang penjaga taman melihat Bhante Raṭṭhapāla dan kemudian memberitahukan kepada Raja Koravya. Raja pun mengunjungi Bhante Raṭṭhapāla, memberi hormat dan memberikan sebuah alas duduk yang terbuat dari kulit gajah. Namun Bhante Raṭṭhapāla mengatakan sudah cukup karena beliau sudah memiliki alas duduk sendiri. Raja Koravya bertanya mengapa Bhante Raṭṭhapāla pergi meninggalkan kehidupan duniawi dikala masih muda padahal tidak mengalami kehilangan atas 4 hal yakni kehilangan karena penuaan, kehilangan karena penyakit, kehilangan kekayaan, dan kehilangan sanak saudara. Bhante Raṭṭhapāla menjawab dengan tegas sesuai dengan Ajaran Sang Buddha adalah karena kehidupan itu tidak stabil / terhanyutkan, kehidupan itu tanpa naungan / tanpa perlindung, kehidupan ini tidak memiliki apa-apa, dan kehidupan ini tidak lengkap, tidak terpuaskan, budak ketagihan.
“Kenikmatan indria beraneka warna, manis dan menyenangkan, dalam berbagai cara mengganggu pikiran kita, melihat bahaya di dalam ikatan kesenangan indra ini, Aku memilih untuk menjalani kehidupan tanpa rumah;
Sebagaimana buah yang jatuh dari pohonnya, demikian pula orang-orang, baik tua maupun muda jatuh terkapar ketika jasmani ini hancur, melihat hal ini juga, Aku meninggalkan keduniawian, imbalan kehidupan pertapaan adalah jaminan yang lebih baik daripada kehidupan perumahtangga.
‘Pergi takkan kembali’ meninggalkan keduniawian dari kehidupan perumahtangga menuju kehidupan tanpa rumah. Pergi takkan kembali; mengapa dikatakan demikian? Karena beliau pergi untuk tidak kembali ke ‘rahim’ lagi; tidak akan terlahir untuk yang kesekian kalinya.
Setiap makhluk yang ada di alam semesta mengalami siklus perkelanaan - saṃsāra vatta (lingkaran kelahiran yang berulang-ulang). Saṃsāra dipadankan dengan kata sengsara yaitu perputaran kelahiran kembali yang berulang-ulang dimana pada setiap perkelanaan tersebut semua makhluk mengalami atau membawa beban yang disebut dukkha (sulit, berat). Membawa beban berupa penderitaan.
1. Jātipi dukkha (kelahiran adalah penderitaan)
2. Jarāpi dukkha (usia tua adalah penderitaan)
3. Maraṇampi dukkha (kematian adalah penderitaan)
4. Soka-parideva-dukkha-domanassa upāyāsā dukkha (kesedihan, ratapan tangis, rasa sakit tubuh, dukacita, dan keputusasaan adalah penderitaan)
5. Appiyehi sampayogo dukkha (berkumpul dengan yang tidak dicinta adalah penderitaan)
6. Piyehi vippayogo dukkha (berpisah dengan yang dicinta adalah penderitaan)
7. Yampicchaṁ na labhati tampi dukkha (tidak mendapatkan apa yang diinginkan juga adalah penderitaan);
Saṅkhittena pañc’upādānakkhandhā dukkha (singkatnya, lima kelompok kemelekatan [batin & jasmani] adalah penderitaan.
Pañca Upādāna Khandhā – 5 kelompok kemelekatan tersebut adalah :
1. Rūpa upādāna khandha (kelompok kemelekatan terhadap bentuk)
2. Vedana upādāna khandha (kelompok kemelekatan terhadap perasaan)
3. Sañña upādāna khandha (kelompok kemelekatan terhadap persepsi)
4. Saṅkhāra upādāna khandha (kelompok kemelekatan terhadap bentukan-bentukan (batin)
5. Viññāṇa upādāna khandha (kelompok kemelekatan terhadap kesadaran)
Karena kita terlahir sesungguhnya kita telah mengambil suatu keputusan yang begitu berat tetapi kita tidak pernah menyadarinya. Keputusan apa? Keputusan untuk terlahir kembali menjadi salah satu makhluk yang ada di alam semesta ini. Jika kita tidak terlahir apakah kita perlu sibuk setiap hari bekerja untuk sesuap nasi yang pada ujungnya kita juga masih tetap merasakan ‘lapar’. Apakah kita perlu meronta-ronta ketika merasakan sakit tubuh yang terserang penyakit? Apakah kita perlu takut akan kematian jika tidak ada kelahiran? Kita tidak perlu takut dengan itu semua jika kita tidak lahir.
Kenapa kita bisa sakit kepala? Karena kita punya kepala; apabila kita tidak punya kepala maka apakah mungkin akan sakit kepala? Mengapa kita bisa memiliki kepala, mengapa kita bisa memiliki tubuh; adalah karena kita telah terlahir. Karena kita telah terlahir maka konsekuensinya adalah kita memiliki “Rūpa” – jasmani atau materi.
Tubuh kita terbentuk dari 4 elemen – 4 mahābhūtā: tanah (pathavī), air (āpo), api (tejo), angin (vāyo). Keempat elemen inilah yang membentuk tubuh kita sehingga jika ada salah satu elemen yang tidak seimbang maka pasti akan terjadi sesuatu dengan tubuh kita (misalnya: sakit kepala).
Konsekuensi dari kelahiran adalah kita harus menanggung beban berupa tubuh. Tubuh sakit adalah penderitaan; tubuh mengalami usia tua adalah penderitaan; dan ini adalah peristiwa yang sangat lumrah namun tidak semua orang dapat menyadarinya. Mengapa demikian? Karena dalam kehidupan kita sehari-hari yang sebenarnya adalah dukkha, namun penderitaan ini memiliki ‘sampul’ yang menarik perhatian kita. Sampul yang begitu memikat ini berupa kesenangan indriawi / tanha. Kesenangan indriawi inilah yang membuat kita seakan-akan tidak pernah merasakan penderitaan. Tetapi cobalah kita analogikan; ketika kita makan, beberapa waktu kemudian akan kembali merasakan lapar, kalau sudah lapar maka kita pasti ingin makan lagi. Mengapa bisa lapar? Karena punya perut; kalau tidak punya perut ya tidak akan lapar. Jadi meskipun kemudian kita makan apakah beberapa waktu berikutnya tidak akan lapar lagi? Sampai kapan hal ini akan terus berlanjut? Adalah sampai kita tidak punya perut lagi. Sesungguhnya diri kita menderita, ketika tidak makan kita merasakan penderitaan, rasa sakit karena lapar adalah penderitaan namun kita tutupi dengan yang namanya kamma-tanha / kesenangan indriawi dengan cara makan melalui mulut yang terdapat kesadaran lidah sebagai indra pengecap yang memunculkan kesenangan indra atas rasa enak; makanan yang masuk kedalam perut juga menimbulkan kesadaran sentuhan sehingga terasa kenyang; sehingga seolah-olah yang namanya dukkha / penderitaan itu tertutupi; tetapi sampai kapan akan terus berlanjut? Selamanya; selama kita tidak pernah menyadari itu.
Sebagai umat Buddha setidaknya harus memahami akan adanya dukkha - Dukkha Ariyasacca. Dalam kehidupan sehari-hari jika kita dapat memahami dukkha maka akan memunculkan samvega bahwa kehidupan adalah menderita, bagaimana supaya tidak merasakan sakit lagi, apa penyebab penderitaan ini sebenarnya, bagaimana supaya bisa terbebas dari penderitaan. Dengan demikian kita akan berusaha untuk menjalankan Buddha Dhamma dengan sebaiknya mungkin; menjalankan Ariya Aṭṭhaṅgika Magga – Jalan Mulia beruas 8 : pandangan benar (sammā-diṭṭhi), pikiran benar (sammā-saṅkappa), ucapan benar (sammā-vācā), perbuatan benar (sammā-kammanta), penghidupan benar (sammā-ājīva), usaha benar (sammā-vāyāma), perhatian benar (sammā-sati), konsentrasi benar (sammā-samādhi). Menjalankan Buddha Dhamma dengan baik dan benar guna mencapai pantai seberang sebagai cita-cita tertinggi yaitu Nibbāna.
Demikian yang dapat dituliskan kembali. Mohon maaf apabila ada kesalahan dalam pendengaran dan pemahaman. Semoga bermanfaat bagi kita semua.
Semoga jasa Kebajikan ini mengalir ke kehancuran noda-noda batin,
Semoga jasa Kebajikan ini menjadi kondisi untuk realisasi Nibbāna,
Saya membagikan Kebajikan ini kepada semua makhluk,
Semoga mereka semua mendapatkan bagian Kebajikan yang sama dengan saya.
Sabbe sattā bhavantu sukhitattā.
Semoga semua makhluk berbahagia.
Sādhu, Sādhu, Sādhu. 🙏🏻🙏🏻🙏🏻
Related Postview all
SIGĀLOVĀDA SUTTA
Namo tassa bhagavato arahato sammāsambuddhassa (3x) Mātāpitu upaṭṭhānaṁ Etammaṅgalamuttamaṁti.Membantu Ayah dan Ibu, Itulah Berkah Utama. Berbahagialah Anda yang masih ... [Selengkapnya]
Perayaan Āsādha Pūjā 2567 BE / 2023
Namo tassa bhagavato arahato sammāsambuddhassa (3x) Tumhehi Kiccamātappaṁ, Akkhātāro Tathāgatā’tiEngkau sendirilah yang harus berusaha, Para Tathāgatā hanya menunjukkan ... [Selengkapnya]
Harta Mulia
Namo tassa bhagavato arahato sammāsambuddhassa (3x) Attasammāpaṇidhi ca Etammaṅgalamuttamaṁti.Menuntun diri kearah yang benar, Itulah Berkah Utama. Pagi hari ini kita memiliki ... [Selengkapnya]
Mengatasi Takut dan Cemas
Namo tassa bhagavato arahato sammāsambuddhassa (3x) Dalam menjalani kehidupan tentunya banyak bermunculan masalah-masalah yang datang silih berganti. Diantara banyaknya masalah-masalah ... [Selengkapnya]
Kembangkan Pengetahuan dan Keterampilan Berselancar di Kehidupan
Namo tassa bhagavato arahato sammāsambuddhassa (3x) “Attadīpā, viharatha attasaraṇā anaññasaraṇā,dhammadīpā dhammasaraṇā ... [Selengkapnya]