Membangun Kedamaian Batin dan Kesehatan
MEMBANGUN KEDAMAIAN BATIN DAN KESEHATAN
-by: YM. Bhikkhu Santacitto Ph.D.-
Penulis & Editor: Lij Lij
Antara pikiran dengan jasmani adalah saling berhubungan. Secara medis juga dikatakan demikian; bahwasanya ketika pikiran kita berisi dengan pikiran-pikiran negatif maka akan memunculkan berbagai macam zat yang salah satunya adalah zat kortisol dimana ketika seseorang stress maka otaknya akan dipenuhi dengan zat kortisol ini. Dan itulah mengapa ketika zat kortisol memenuhi otak kita maka kita akan menjadi lemas tidak berdaya; itu karena pikiran kita stress.
Tetapi ketika pikiran kita diisi dengan hal-hal yang positif, dengan hal-hal yang baik: cinta kasih, kasih sayang, dan hal-hal baik lainnya ternyata menghasilkan banyak sekali zat-zat baik yang membantu bagi kesehatan fisik seperti misalnya zat endorphin, dopamine, dan sebagainya. Hal ini diakui secara medis demikian.
Dalam ilmu neurologi juga mengatakan bahwa batin kita juga mempengaruhi sel-sel otak kita. Ketika kita berperilaku – berpikir sedemikian sehingga menjadi sebuah habit / kebiasaan maka hal tersebut akan mempengaruhi otak kita. Jadi kalau kita senantiasa berpikir yang positif maka sel-sel otak yang sifatnya positif juga akan tumbuh di dalam otak kita. Sebaliknya kalau pikiran kita selalu negatif maka sel-sel otak yang tumbuh juga negatif. Maka itulah antara pikiran dengan fisik memang saling mempengaruhi.
Pertanyaannya adalah apakah dalam Ajaran Buddha juga demikian? Ternyata memang demikian. Kalau kita perhatikan dalam Sutta-Sutta Khotbah Sang Buddha, kita dapat menengarai beberapa Khotbah Beliau yang mana berisi bahwa pikiran kita itu memang sangat mempengaruhi fisik kita. Jadi kalau pikiran kita memang positif, pikiran kita diisi dengan hal-hal yang baik, tidak stress, tidak frustasi, tidak cemas, tidak ketakutan maka fisik kita akan menjadi lebih sehat.
Dalam Saṃyutta Nikāya (SN 1.10) : Arañña Sutta
Saṃyutta Nikāya 1. Kelompok Khotbah tentang Devatā 10. Hutan
Para Bhante walaupun tinggal dihutan, makan hanya sekali dan hidup selibat (Selibat adalah sebuah pilihan hidup yang bersumber dari suatu pandangan atau pemikiran tertentu yang memutuskan sang pribadi untuk memilih hidup tanpa menikah.); mengapa mereka memiliki wajah yang tenang, memiliki badan yang sehat? Karena mereka mengembangkan batin mereka. Mereka tidak menyesali, tidak bersedih terhadap apa yang telah dilakukan, apa yang telah terjadi; artinya mereka itu tidak kembali ke masa lampau, tidak terlalu banyak berpikir tentang masa lampau. Dan di saat yang sama, mereka juga tidak merindukan apa yang belum terjadi; jadi tidak terlalu memikirkan apa yang belum terjadi, tidak cemas, tidak gelisah, tidak khawatir, tidak takut terhadap apa yang akan terjadi; sementara batin mereka itu fokus hanya dengan hidup saat ini.
Paccuppannena yāpenti karena mereka tidak berpikir masa lampau, tidak berpikir yang akan datang, tidak digelisahkan, tidak dikhawatirkan dengan hal-hal yang sudah terjadi, dan tidak dikhawatirkan dengan hal-hal yang belum terjadi; tetapi hanya sati sekarang dengan hidup saat ini maka wajah mereka menjadi cerah, tenang dan bersahaja (sederhana) dengan kata lain mereka menjadi sehat. Ini disebabkan karena pikiran. Jadi pikiran yang tidak gelisah, pikiran yang tidak khawatir, pikiran yang tidak dikuasai ketakutan; maka jasmani pun menjadi lebih sehat.
Bojjhaṇga Paritta mengisahkan Bhante Maha Moggallāna dan di kesempatan lain Bhante Maha Kassapa yang sakit keras. Dan ketika mereka sakit keras, Sang Buddha kemudian mendatanginya (tradisi sejak jaman dahulu jika ada Bhante yang sakit maka Bhante lainnya akan mengunjungi) untuk memberikan motivasi; termasuk jika ada umat yang sakit pun pada zaman itu terkadang Sang Buddha, Bhante Sariputta, Bhante Ananda akan mengunjungi, terutama umat yang memang dekat dengan para Bhikkhu. Pada waktu itu, Sang Buddha memberikan wejangan berkaitan dengan 7 faktor pencerahan yaitu Satta Bojjhanga yang mana disana Sang Buddha mengatakan bahwa 7 faktor pencerahan yang terdiri dari : Sati (perhatian), Dhammavicaya (penyelidikan terhadap Dhamma), Viriya (semangat), Piti (kegiuran), Passaddhi (ketenangan), Samadhi (konsentrasi) dan Upekkha (keseimbangan batin); kesemuanya telah dikembangkan dengan sempurna oleh Sang Buddha. Mendengar wejangan singkat dari Sang Buddha tersebut, Bhante Moggallāna (juga Bhante Maha Kassapa dikesempatan lain) seketika sembuh dari sakitnya.
Kemudian sekarang ini ketika ada orang sakit dibacakan Bojjhaṇga Paritta. Tetapi sebenarnya yang membuat Bhante Maha Moggallāna, Bhante Maha Kassapa sembuh dari sakitnya bukanlah Paritta nya, bukan ucapan dari Sang Buddha nya; melainkan disebabkan karena pikiran Bhante Maha Moggallāna maupun Bhante Maha Kassapa sendiri. Jadi dikatakan dalam kitab komentar, pada saat Bhante Maha Moggallāna juga Bhante Maha Kassapa sakit keras mendengar wejangan dari Sang Buddha, mereka berpikir – merenung “saya saja yang mengembangkan kualitas-kualitas batin yang sedikit saja sudah memberikan manfaat yang begitu besar; apalagi Sang Buddha yang telah mengembangkan secara sempurna 7 faktor pencerahan ini, pasti luar biasa sekali.”
Merenungkan demikian dengan pikiran dipenuhi dengan hal-hal positif, dengan pikiran yang positif, pada saat itu badan jasmani Bhante Maha Moggallāna maupun Bhante Maha Kassapa diliputi oleh kegiuran; batinnya menjadi bahagia – tubuhnya diliputi kegiuran; jadi merasakan kebahagiaan baik batin maupun jasmani. Dan ketika jasmaninya dipenuhi dengan kegiuran, dengan kebahagiaan (kalau jaman sekarang mungkin ada zat dopamine-nya), darah yang tadinya kotor, darah yang tadinya tidak bersih yang menimbulkan penyakit itu menjadi bersih, darah yang kotor menjadi lenyap. Karena darahnya menjadi bersih tidak kotor lagi, pada saat itu juga Bhante Maha Moggallāna dan juga Bhante Maha Kassapa sembuh dari sakitnya.
Ini menunjukkan bagaimana pikiran yang diisi dengan pikiran positif, batin yang diisi dengan pikiran positif mempengaruhi fisik tubuh kita. Mungkin beberapa dari kita ketika bermeditasi merasakan kegiuran - piti; dimana jasmani betul-betul dipenuhi dengan kegiuran (tidak ada satupun bagian badan jasmani yang tidak dipenuhi kegiuran) maka pada waktu itu segala macam bentuk penyakit lenyap; misalnya ketika meditasi duduk di atas batu yang padahal awalnya sakit tetapi begitu kegiuran itu muncul maka rasa sakit yang sekecil apapun lenyap. Inilah bagaimana batin mempengaruhi fisik. Ketika batin diisi dengan hal-hal yang positif, maka fisiknya juga menjadi lebih sehat.
Demikian halnya dengan Meditasi Cinta Kasih yang juga mempengaruhi kesehatan fisik. Dalam salah satu khotbah Sang Buddha mengatakan ada 11 manfaat mengembangkan meditasi cinta kasih - mengembangkan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih. Salah satu manfaatnya adalah wajahnya menjadi cerah bersahaja dengan kata lain menjadi sehat. Artinya ketika seseorang sehat maka wajahnya menjadi cerah, wajahnya menjadi bersahaja, wajahnya menjadi kelihatan indah. Tetapi ketika seseorang sakit maka wajahnya menjadi kusut, tidak bergairah, tidak menyenangkan. Jadi dengan meditasi, dengan mengembangkan pikiran-pikiran positif akan sangat mempengaruhi kesehatan fisik. Oleh sebab itu ada satu anjuran yang diberikan oleh Sang Buddha kepada para dokter (tabib pada masa itu): ada beberapa tugas atau kewajiban atau keterampilan yang harus dimiliki seorang dokter dimana salah satunya yang menarik adalah bahwa seorang dokter harus memiliki kemampuan untuk memberikan motivasi kepada si pasien dengan kata-kata Dhamma. Jadi seorang dokter harus memiliki kemampuan untuk memberikan semangat kepada pasien dari waktu ke waktu memberikan kata-kata Dhamma.
Hal ini sangat menarik karena berkaitan dengan pikiran, artinya kalau seseorang sedang sakit kemudian sang dokter mampu memberikan motivasi dengan kata-kata Dhamma maka yang sakit tersebut menjadi bahagia dan ketika kebahagiaan muncul dengan kata-kata Dhamma; dia termotivasi, dia menjadi semangat, menjadi bergairah, tidak merasa down, tidak merasa pesimis, dia mampu menerima sakitnya karena dia bahagia; maka ini akan membantu si pasien untuk lebih cepat sembuh. Maka seorang dokter harus memiliki satu kualitas yaitu mampu memberikan kata-kata Dhamma, memberikan motivasi dengan kata-kata Dhamma kepada si pasien.
Di khotbah selanjutnya, Sang Buddha juga mengatakan bahwa ada juga beberapa kualitas seorang pasien itu akan cepat sembuh dari penyakitnya; yang salah satu kualitasnya adalah ketika dia memahami Dhamma. Artinya ketika si pasien memahami Dhamma, dengan Dhamma seseorang dapat berfikir secara positif, dapat berfikir hal-hal yang baik, yang bermanfaat, yang dapat memberikan motivasi dan semangat, maka dia akan lebih mudah sembuh dari sakitnya. Tetapi berbeda jika seseorang yang ketika sakit menjadi gelisah, menjadi khawatir, semakin takut; maka penyakitnya akan bertambah.
Kalau kita mampu menerima dengan pikiran-pikiran positif, walaupun jasmani sakit maka kesembuhan akan mudah diperoleh. Dan kita tentu sudah pernah mendengarkan berbagai cerita bagaimana seseorang yang sakit parah kemudian dengan pikiran yang dilatih, dengan pikiran yang diisi dengan hal-hal positif, kemudian dapat sembuh dari penyakitnya. Maka betul bahwasanya batin dan fisik ini memang saling mempengaruhi. Batin yang baik, batin yang positif mempengaruhi fisik menjadi lebih sehat; dan sebaliknya fisik yang sehat juga mempengaruhi batin; seperti dalam salah satu khotbah Sang Buddha mengatakan bahwa salah satu faktor yang sangat membantu ketika seseorang mempraktekkan Paṭṭhāna (meditasi yang sifatnya lebih intensif) adalah Appābādha (memiliki sedikit penyakit); dengan kata lain sehat secara fisik. Bayangkan jika kita bermeditasi secara intensif berbulan-bulan dengan fisik yang sakit maka tentu akan menyulitkan; sebaliknya akan lebih mudah ketika fisik jasmani kita dalam keadaan sehat tentu akan menunjang praktek meditasi.
Batin dan jasmani memang saling mempengaruhi. Tetapi kalau kita berbicara tentang meditasi atau pengembangan batin, walaupun batin mempengaruhi kesehatan fisik; ketika batin diisi dengan hal yang positif – fisik menjadi sehat; tentu sejauh meditasi yang diajarkan oleh Sang Buddha adalah kembali kepada tujuan utama bermeditasi. Tujuan utama meditasi tidak sekedar untuk mendapatkan kesehatan fisik tetapi adalah untuk kesehatan batin. Kesehatan fisik hanya manfaat sekunder; sedangkan kesehatan batin inilah yang menjadi sangat penting dalam praktek meditasi – dalam praktek pengembangan batin.
Sang Buddha mengatakan ada 2 jenis penyakit yaitu Kanikaroga (penyakit fisik – penyakit jasmani) dan Cetasikaroga (penyakit mental). Di antara 2 penyakit ini yang paling memberikan kerugian, yang paling memberikan kehancuran di kehidupan manusia baik manusia itu sendiri maupun lingkungannya adalah penyakit mental. Kalau penyakit fisik mungkin hanya merugikan 1 orang atau keluarga terdekat yang berhubungan dengan si sakit. Tetapi kalau penyakit mental maka akan menimbulkan dampak kerugian yang masif (sesuatu yang terjadi secara besar-besar atau skalanya luas) kepada banyak orang. Segala bentuk konflik, pertengkaran dari yang paling kecil sampai yang paling masif, dari pertengkaran keluarga sampai pertengkaran antar negara; itu semua disebabkan karena penyakit mental. Karena keserakahan, kebencian, delusi – ketidaktahuan, kebodohan; semua ini memberikan dampak yang begitu masif. Sehingga dalam meditasi yang diajarkan Sang Buddha tentunya tujuan yang harus diutamakan adalah pengembangan batin untuk pelenyapan penyakit mental bukan penyakit fisik. Penyakit fisik akan lenyap sebagai manfaat sekunder.
Lebih lanjut dikatakan bahwa penyakit yang muncul pada tubuh kita tidak hanya disebabkan oleh pikiran. Fisik kita dipengaruhi oleh 4 hal yaitu : Citta – kesadaran / batin; Kamma – buah kamma; Utu – iklim / temperature; dan Āhāra – makanan. Dengan demikian sakit fisik kita atau kesehatan kita dipengaruhi oleh 4 faktor ini; tidak hanya oleh batin. Selain batin, kesehatan juga dapat dipengaruhi oleh buah kamma yang lampau. Kalau kamma lampau kita baik maka akan membuah kesehatan fisik yang lebih baik, tetapi jika di waktu lampau kita sering melakukan kejahatan maka fisik kita saat ini juga akan mengalami hal-hal yang buruk juga. Utu – perubahan iklim atau cuaca juga mempengaruhi kesehatan kita; perubahan suhu dari panas ke dingin atau dari dingin ke panas. Banyak penyakit juga yang muncul dari makanan. Terkait makanan, dikatakan ibarat makan buah simalakama; mengapa? Kita mati karena makanan, kita sehat juga karena makanan. Kalau tidak makan – kita mati; tetapi kalau makan – kita pun juga akan mati; karena tenyata banyak sekali penyakit yang dipicu dari makanan.
Karena penyakit tidak hanya muncul dari pikiran maka dalam rangka menjaga tubuh jasmani, kita tidak hanya sekedar mengembangkan batin. Pengembangan batin ini tujuannya tetap untuk pelenyapan kotoran batin – pelenyapan penyakit mental. Sementara sakit-sakit fisik tidak hanya di reduce – dikurangi dengan meditasi, tetapi juga dengan hal-hal lain. Salah satunya adalah tetap minum obat jika sakit.
Jangankan kita, Sang Buddha sendiri seorang manusia agung yang telah betul-betul terbebas dari kotoran batin, betul-betul terbebas dari penyakit mental; masih bisa mengalami sakit juga. Para Arahat pun masih bisa sakit juga. Dan ketika Mereka sakit juga masih menggunakan obat untuk dikonsumsi supaya sembuh dari sakit. Maka itu salah satu kebutuhan pokok dari seorang Bhikkhu adalah obat-obatan; bahkan ada bagian tertentu dalam Vinaya Piṭaka yang berkaitan dengan obat, mengapa? Karena penting; obat itu penting! Selain obat, kita juga membutuhkan makanan. Kita harus tahu seberapa kebutuhan makanan agar kita sehat. Ketika Boddhisatta sebelum mencapai pencerahan juga kembali makan seperti biasanya. Makanan juga penting; hanya saja tentu dalam hal makanan ini juga harus proporsional. Makan terlalu banyak adalah tidak baik; makan terlalu sedikit – tidak memenuhi kebutuhan fisik juga tidak baik. Maka Sang Buddha menganjurkan agar kita mengetahui seberapa banyak makanan yang mencukupi kebutuhan fisik kita. Dalam Sutta, bagi para Bhikkhu dianjurkan untuk makan sehari sekali. Dengan makan sehari sekali maka badan akan menjadi sehat. Tetapi kemudian diperbolehkan untuk makan dua kali sehari namun tidak melewati tengah hari. Untuk apa? Untuk kesehatan fisik dan juga untuk kesehatan batin karena banyak kotoran batin yang muncul disebabkan karena makanan. Makan yang tidak proporsional, makan yang berlebihan karena keserakahan – maka keserakahan bertambah. Atau makan berkurang karena kebencian – maka kebencian bertambah. Dalam hal inilah makanan menjadi penting; bagaimana kita dapat menjadi sehat dengan makan. Termasuk kebutuhan olahraga juga bagi perumahtangga. Para perumahtangga dapat melakukan olahraga apapun yang mereka sukai.
Lalu bagaimana dengan para Bhikkhu, bolehkah Bhikkhu berolahraga? Para Bhikkhu dapat berolahraga dengan cara melakukan meditasi jalan. Mengapa Sang Buddha menganjurkan meditasi jalan terutama untuk para Bhikkhu? Karena salah satu manfaat dari meditasi jalan selain untuk pengembangan batin – kedamaian batin, meditasi jalan dapat memberikan kesehatan secara fisik yang disebut Appābādha. Ada 5 manfaat dari meditasi jalan yang salah satu manfaatnya adalah Appābādha – fisik menjadi sehat. Inilah bagian dari berolahraga; selain mengembangkan batin juga mengolah – menggerakkan fisik yang sangat membantu kesehatan fisik.
Perlu ditekankan adalah pada saat kita bermeditasi, tujuan utama tetaplah untuk melenyapkan kekotoran batin, harus untuk melenyapkan keserakahan, kebencian, dan kebodohan; itu yang penting!!!
Seandainya pada saat bermeditasi, kita merasakan bagian tubuh yang sakit; tujuan meditasi kita pun hendaknya tidak untuk melenyapkan sakit fisik, tetapi adalah untuk melenyapkan sakit pikiran. Kenapa? Pada saat kita meditasi dengan batin yang tenang sehingga sakit pada fisik kita akan tampak dengan jelas, sensasi yang paling halus pun akan tampak dengan jelas, ketidaknyamanan dalam fisik, ketegangan dalam fisik, penyakit-penyakit yang ada dalam fisik itu akan terasa dengan jelas; dan pada saat semua itu dirasakan seharusnya kita tidak bertujuan agar sakit-sakit fisik tersebut lenyap. Begitu merasakan rasa sakit di jasmani saat meditasi kemudian tujuannya agar sakit tersebut lenyap maka disitu ada Lobha – disitu ada keserakahan. Dan ketika disitu ada lobha – keserakahan, kotoran batin berkembang dan ketenangan tidak akan dapat diperoleh. Yang timbul justru kegelisahan, kekhawatiran, keinginan yang menggebu yang membuat jasmani semakin tegang sehingga bukan kesembuhan yang diperoleh sebaliknya malah semakin parah. Dan juga pada saat merasakan sakit fisik – sensasi yang tidak menyenangkan terhadap fisik maupun sensasi terhadap batin, apapun itu; jangan munculkan kebencian, jangan memunculkan ketidaksukaan; karena begitu memunculkan kebencian maka disana kotoran batin muncul berkembang dan tidak hanya itu, sakit yang dirasakan juga akan menjadi berlipat.
Sang Buddha mengatakan bahwa ketika seseorang mengalami sakit fisik ibarat ditusuk oleh belati di jantungnya. Secara intrinsik ketika sakit tentu kita merasakan sakit, tidak mungkin kita mengatakan tidak sakit. Tetapi ketika kita sakit fisik kemudian pikiran kita menjadi cemas, menjadi gelisah, menjadi takut, tidak suka, menjadi benci, marah dengan sakit fisik tersebut; apa yang terjadi? Ini diibaratkan sudah sakit di tusuk oleh belati, ditusuk belati lain lagi. Jadi ada 2 belati yang menusuk ke jantung sehingga sakitnya menjadi dobel.
Oleh sebab itu, dalam meditasi pun walaupun nantinya fisik menjadi lebih sehat, dengan fokus pada perasaan tidak menyenangkan – sensasi tidak menyenangkan yang disebabkan rasa sakit; tetap tujuannya adalah untuk menenangkan batin agar tidak terbawa oleh keserakahan atau kebencian, tidak terbawa oleh suka atau tidak suka; tetap harus menggunakan batin seimbang menerima sakit fisik tersebut sebagaimana adanya. Dengan demikian tujuan meditasi sudah bukan lagi untuk lenyapnya sakit fisik tetapi untuk lenyapnya penyakit batin. Walaupun tidak diminta, ketika tujuan meditasi adalah melenyapkan kotoran batin maka sakit fisik yang muncul akan ikut lenyap karena batin yang lebih tenang. Jadi point penting dalam meditasi adalah untuk melenyapkan kotoran batin, untuk memberikan kedamaian batin; bukan untuk kesehatan fisik walaupun kesehatan fisik pun juga dipengaruhi oleh batin yang dikembangkan. Saat meditasi hendaknya lenyapkan keserakahan, kebencian dan juga delusi – kebodohan; munculkan Amoha – kebijaksanaan.
Bagaimana cara memunculkan Amoha? Di zaman Sang Buddha, ada seorang perumahtangga bernama Nakulapitta mengeluhkan kondisinya yang sudah tua, lemah, sakit-sakitan. Sang Buddha memberikan wejangan kepadanya “biarlah fisik saya sakit, yang terpenting batin saya tidak sakit”. Mendengar wejangan tersebut, Nakulapitta bahagia sekali dan kemudian pulang. Dalam perjalanan pulang, dia bertemu dengan Bhante Sariputta yang kemudian bertanya mengapa Nakulapitta terlihat begitu bahagia. Nakulapitta menceritakan tentang wejangan dari Sang Buddha. Lalu Bhante Sariputta bertanya apakah Nakulapitta mengerti maksud dari wejangan tersebut. Ternyata Nakulapitta yang sudah merasa bahagia tersebut tidak mengerti maksud wejangan tersebut. Bhante Sariputta kemudian menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “walaupun fisik sakit tetapi batin tidak sakit” adalah ketika seseorang berusaha melatih batinnya untuk melenyapkan sebuah persepsi, sebuah anggapan bahwa ada AKU. Ketika anggapan bahwa ada AKU ini semakin lenyap maka artinya batin semakin sehat. Anggapan ada AKU ini sebenarnya akan jelas sekali terlihat pada saat seseorang bermeditasi. Seperti telah dicontohkan sebelumnya, ketika mengalami sensasi pada jasmani yang salah satunya adalah sensasi yang tidak menyenangkan yang ditimbulkan oleh sakit fisik misalnya (sensasi apapun sama); pada saat itu ketika seseorang memunculkan keserakahan ‘saya harus sembuh dari sakit ini’ – disitu tanpa disadari ada sebuah anggapan bahwa ada AKU. Itu artinya batin yang tidak sehat. Atau pada saat itu muncul kebencian, kemarahan – disitu juga ada anggapan bahwa ada AKU - ‘Aku tidak suka, aku menolak’. Jadi ada anggapan yang begitu halus disitu; dan juga bukan pikiran yang sehat.
Tetapi ketika seseorang mampu menerima perasaan sebagai perasaan semata, mampu menerima – tidak menghakimi (without any judgement) – juga tidak melekat; hanya sekedar menerima (as it is - just be) disitu anggapan – kecenderungan bahwa ada Aku TIDAK ADA. Itulah batin yang sehat. Itu juga baik, perlu untuk dikembangkan dalam meditasi; dan itu yang sebenarnya adalah praktek meditasi yang disebut sebagai Vipassana. Bagaimana di dalam praktek Vipassana yang tujuannya adalah untuk kedamaian batin, seseorang diajak untuk menerima setiap pengalaman yang muncul berkaitan dengan jasmani, perasaan, bentuk-bentuk pikiran, atau batin itu sendiri; tanpa memunculkan kemelekatan disitu. Menerima – just be – tetapi tidak melekat disitu. Dan karena dia menerima maka dia tidak membenci; tidak ada kebencian disitu, hanya sebagaimana adanya. Inilah yang harus dikembangkan untuk memunculkan kesehatan secara batin; kedamaian secara batin. Dan ketika seseorang menerima apa yang sedang terjadi, tidak hanya dia melepaskan kegelisahan yang berkaitan dengan masa lampau dan juga melepaskan kerinduan – keinginan yang berkaitan dengan masa yang akan datang; maka berarti dia juga hidup di saat ini dan sekarang. Dan dia yang hidup di saat ini dan sekarang adalah dia yang hidup dengan kedamaian.
Sebuah syair penting yang diberikan oleh Sang Buddha kepada seorang Menteri yang bernama Santati yang mengacu pada praktek meditasi Vipassana yang membawa kepada kedamaian batin.
Penggalan syair dalam Sutta Nipata 5.12, Khuddaka Nikāya, Jatukaṇṇimāṇavapucchā
Yaṃ pubbe taṃ visosehi, pacchā te māhu kiñcanaṃ;
Majjhe ce no gahessasi, upasanto carissasi.
Yaṃ pubbe taṃ visosehi – apapun yang lampau, bersihkan itu; diterjemahkan secara sederhana: Bersihkan yang lampau.
Pacchā te māhu kiñcanaṃ – yang akan datang, jangan diisi; diterjemahkan menjadi: kosongkan yang akan datang.
Majjhe ce no gahessasi, upasanto carissasi – dan ketika engkau tidak menggenggam yang sekarang, maka engkau akan berjalan dengan kedamaian.
Bersihkan yang lampau, kosongkan yang akan datang, dan tidak menggenggam yang sekarang, maka engkau akan berjalan dengan kedamaian. Ini sebenarnya praktek meditasi Vipassana; maksudnya seseorang yang mempraktekkan meditasi Vipassana yang diajarkan oleh Sang Buddha adalah seseorang yang hanya fokus pada apa yang sedang terjadi saat ini, hanya waspada – penuh perhatian pada apa yang saat ini sedang terjadi tetapi walau fokus dengan apa yang terjadi pun tidak melekat dengan apa yang sedang terjadi tersebut.
Dan ketika seseorang mengalami apa yang sedang terjadi artinya yang sebenarnya sedang dialami itu tidak lain adalah buah-buah karma dari yang telah dilakukan di masa lampau; yang saat ini sedang kita alami adalah buah karma masa lampau. Ketika kita hanya sadar merasakan apa yang sedang terjadi artinya kita sedang membakar buah karma masa lampau dan ini mengacu pada Yaṃ pubbe taṃ visosehi -yang lampau dibersihkan dengan menyadari buah apa yang sedang terjadi – artinya kita sedang membersihkan yang lampau.
Karena pada saat kita mengalami apa yang sedang terjadi, kita juga tidak bereaksi, tidak complain, tidak memberikan penghakiman, hanya sekedar mengalami tanpa memunculkan reaksi baru artinya kita sedang tidak melakukan perbuatan. Karena tidak melakukan perbuatan maka kita sedang mengosongkan yang akan datang. Karena yang akan datang ini akan berlanjut, akan muncul, ketika sekarang memunculkan perbuatan – memunculkan karma. Tetapi kalau kita tidak memunculkan karma, tidak melakukan perbuatan, tidak bereaksi, maka tidak melakukan sesuatu yang menimbulkan buah di masa mendatang. Pacchā te māhu kiñcanaṃ – mengosongkan yang akan datang.
Karena pada saat kita mengalami apa yang sedang terjadi (kalau kita menggunakan objek keluar masuk nafas) kita mengalami nafas menggunakan objek sensasi termasuk yang tidak menyenangkan, sensasi fisik yang sakit; hanya sekedar mengalami sensasi tersebut tanpa bereaksi tanpa menimbulkan reaksi baru perbuatan baru dan tidak melekatinya, sekedar mengalami ‘just be - as it is’ pada waktu itu artinya tidak melekati yang sekarang – Majjhe ce no gahessasi. Dan karena tidak melekati yang sekarang sebagai dampaknya adalah menjadi bahagia, menjadi damai – upasanto carissasi. Karena kedamaian akan diperoleh kalau kemelekatan semakin lenyap. Yang membuat kita menderita, membuat kita gelisah, membuat kita khawatir tidak lain adalah kemelekatan. Apakah kemelekatan terhadap yang lampau, atau kemelekatan terhadap yang akan datang, termasuk kemelekatan terhadap yang sekarang. Walaupun kita hidup saat ini dan sekarang, kalau kita melekati yang sekarang, itu juga memberikan penderitaan. Maka segala bentuk kemelekatan itu dalam meditasi dilatih untuk bagaimana agar apapun yang dialami; kita mengalami, kita melihat, kita menyadari, kita sadar, kita mengetahui; tetapi di saat yang sama kita diajak untuk melatih batin kita untuk tidak melekati. Dengan demikian, kedamaian batin akan diperoleh.
Petikan Aṅguttara Nikāya 8.19 Aṭṭhaka Nipāta, Mahāvagga – Pahārādasutta :
“Seyyathāpi, pahārāda, mahāsamuddo ekaraso loṇaraso; evamevaṃ kho, pahārāda, ayaṃ dhammavinayo ekaraso, vimuttiraso.”
Seperti hal-nya maha samudera yang memiliki satu rasa, yaitu rasa asin; demikian pula Dhamma Sang Buddha juga hanya memiliki satu rasa yaitu rasa kebebasan.
Di dalam Ajaran Sang Buddha juga hanya ada satu rasa yaitu rasa pembebasan, rasa kedamaian. Dan rasa pembebasan - kedamaian disini diperoleh karena semua keseluruhan Ajaran Sang Buddha mengajarkan kita untuk sedikit demi sedikit melenyapkan - melepaskan kemelekatan, melepaskan keinginan; karena keinginan membawa kepada kemelekatan ‘tanha paccaya uppadana’. Melepaskan keinginan, melepaskan kemelekatan untuk mendapatkan kedamaian. Semua Ajaran Sang Buddha dari yang paling sederhana : praktek dāna, sīla, termasuk meditasi; semua adalah Ajaran yang mengajak kita untuk melepaskan kemelekatan. Sehingga di dalam kita bermeditasi, pengembangan batin sekalipun walaupun mempengaruhi kesehatan fisik namun dalam prakteknya yang lebih mendalam lagi tentu pada saat keinginan untuk terbebas dari sakit fisik pun juga dilenyapkan; karena sedikit apapun keinginan pasti menimbulkan penderitaan apalagi jika keinginan tersebut disertai dengan kebencian.
Antara keserakahan dan kebencian tidak dapat dipisahkan; orang serakah terhadap sesuatu karena benci terhadap yang lain; orang benci karena menginginkan yang lain; tidak bisa dipisahkan. Maka ketika ada keserakahan – kebencian, disitu terdapat anggapan – kecenderungan yang halus berkaitan dengan AKU, itulah penyakit mental.
Bahwasanya saat meditasi kita memperhatikan objek, menyadari objek, mengalami objek termasuk mengalami sensasi yang tidak menyenangkan maupun sensasi yang menyenangkan tetapi disitu sekedar menerima tanpa menghakimi, tidak memunculkan suka ataupun tidak suka. Dengan demikian kesehatan batin – Cetasika aroga akan dapat di collect yang tentunya juga mempengaruhi kesehatan fisik paling tidak ketika batin sehat maka penyakit-penyakit fisik yang muncul dari batin tidak akan muncul walaupun penyakit yang sebabkan faktor lain masih muncul.
Maka seyogianya kita berusaha mempraktekkan Dhamma Sang Buddha terutama untuk membangun kedamaian – kebahagiaan batin, sementara kesehatan fisik menjadi manfaat sekunder yang menyertai ketika batin menjadi lebih sehat.
Demikian yang dapat dituliskan Kembali. Mohon maaf jika ada kesalahan pendengaran dan pemahaman. Semoga bermanfaat, semoga dapat dipahami dengan baik.
Sabbe sattā bhavantu sukhitattā.
Semoga semua makhluk berbahagia.
Buddhasāsanaṁ ciraṃ tiṭṭhatu
Semoga Ajaran Buddha bertahan lama
Sādhu, sādhu, sādhu.
Sources: Online Dhammavaganza – KBTI Surabaya link: https://youtu.be/hT61G9q4daw
Related Postview all
Persiapan Meditasi Duduk
Seperti kita ketahui bahwa meditasi dalam Ajaran Sang Buddha dapat menggunakan berbagai macam posisi yang secara garis besar ada 4 macam posisi yaitu: 1. Duduk 2. Berdiri 3. ... [Selengkapnya]
Mengapa Kita Harus Bermeditasi ?
Ada banyak alasan mengapa kita harus bermeditasi. Seperti hal nya jasmani kita yang butuh untuk dimandikan setiap hari. Misalkan dalam 1 minggu, 2 minggu, jasmani kita tidak dibersihkan, ... [Selengkapnya]
Dhammadesana Waisak 2564 BE / 2020 YM. Bhikkhu Cittanando Mahathera
Namo tassa bhagavato arahato sammāsambuddhassa (3x) Detik-detik Waisak tahun ini yaitu pada Kamis, 7 Mei 2020 tepatnya pukul 17:44:51 WIB kita sambut dengan sangat sederhana. Tidak ... [Selengkapnya]
Pohon Kekotoran Batin
Namo tassa bhagavato arahato sammāsambuddhassa (3x) "Kiccho manussapatilābho, Kiccham maccana jîvitam. Kiccham saddhammasavanam, Kiccho Buddhānam uppādo" "Sungguh sulit untuk ... [Selengkapnya]
Kamma dan Tumimbal Lahir
Namo tassa bhagavato arahato sammāsambuddhassa (3x) "Yâdisam labhate bîjam tâdisam labhate phalam. Kalyânakârî ca kalyânam ... [Selengkapnya]