Bakti Kepada Leluhur
Puja Bakti Umum
Minggu, 8 September 2019
Vihara Sasana Subhasita
Sharing Dhamma: Yosep Setiawan & Cella Golden
Tema Dhamma: Bakti Kepada Leluhur
Penulis & Editor: Lij Lij
Tradisi sembahyang Cit-Gwee dan pelaksanaan patidana yang sering kita lakukan, ada beberapa hal yang perlu kita ketahui terkait dengan Dhamma. Meluruskan beberapa pandangan yang masih kurang tepat yang beredar di masyarakat. Kebanyakan dari kita masih bingung terutama dalam melaksanakan tradisi; apakah masih harus dilaksanakan atau sudah tidak lagi kalau kita bicara mengenai ajaran Sang Buddha.
Contoh pertanyaan yang sering dilontarkan adalah : apakah ‘bakar rumah-rumahan’ masih relevan / sesuai dengan Dhamma yang Sang Buddha ajarkan?
Tirokudda Sutta – Khotbah Di Luar Dinding dan juga Sigalovada Sutta mengajarkan dan mengingatkan kita akan kewajiban kepada orangtua yang telah meninggal yaitu dengan melaksanakan upacara agama.
Dalam Sutta, memang Sang Buddha tidak menjelaskan upacara agama yang seperti apa karena Sang Buddha melihat bahwa dikemudian hari secara tradisi setiap bangsa, setiap negara, setiap suku pasti akan berbeda. Di India, tradisi kremasi dilakukan untuk keluarga / sanak famili yang meninggal dunia; sedangkan di Indonesia sebagian masih memilih untuk dikebumikan / dikubur. Sebenarnya bukan perkara akan dikebumikan atau dikremasi tetapi yang lebih penting adalah apa yang harus kita lakukan setelah orangtua meninggal.
Dalam khotbah lainnya, Sang Buddha juga mengatakan bahwa pasti ada sanak keluarga / leluhur kita yang terlahir di alam menderita. Oleh karena itulah Tirokudda Sutta ini dikhotbahkan yakni di masa kerajaan Raja Bimbisara yang diganggu oleh sanak keluarganya dari masa lalu yang terlahir di alam peta, yang telah selama 92 kappa (siklus dunia) menunggu pelimpahan jasa dari Raja Bimbisara. Setelah Raja Bimbisara selesai mempersembahkan dana makan kepada Sangha, Sang Buddha membacakan Gatha Pemberkahan; dan Raja Bimbisara pun melakukan pelimpahan jasa bagi para leluhurnya sehingga mereka semua terbebas dari alam menderita dan terlahir kembali di alam bahagia.
Dimana keberadaan makhluk peta?
Dalam Tirokudda Sutta dikatakan bahwa:
“Di luar dinding mereka berdiri dan menunggu, dan di perempatan serta pertigaan jalan, kembali ke rumah mereka yang dahulu, mereka menunggu di samping tiang-tiang gerbang.”
Inilah mengapa ada tradisi peringatan kematian 3 hari, 7 hari, 100 hari, 1 tahun, 3 tahun. Bagi orang yang memiliki ‘kemampuan’ dapat melihat keberadaan makhluk peta tersebut.
“Tetapi ketika pesta besar disiapkan dengan beraneka ragam makanan dan minuman, bahwasannya tak seorang pun mengingat makhluk-mahluk itu berasal dari tindakan-tindakan lampau.”
Biasanya ketika kita sedang berpesta, kita tidak mengingat para leluhur kita; oleh karena itu pada saat upacara sembahyang ‘rebutan’ / ‘cioko’ / ‘ulambana’ atau kita sempurnakan dengan patidana itulah kita mengundang mengajak mereka dengan mengucapkan “Semoga sanak famili, keluarga, leluhur yang dapat menikmati makanan ini, jasa kebajikan ini semoga berbahagia”.
“Karena penghormat bagi kita telah dilakukan, tak ada pemberi yang pernah kekurangan buah”.
Hendaknya dipahami bahwa ini adalah kesempatan baik bagi kita untuk berbuat kebajikan bagi sanak famili kita yang telah meninggal dan kita pun akan mendapatkan berkah daripadanya.
“Karena di sana tidak pernah ada pembajakan, tidak juga terdapat pengembalaan ternak apapun, sama juga tidak ada perdagangan, tidak juga pertukaran uang emas, makhluk halus sanak-saudara yang telah meninggal itu hidup disana dari pemberian yang diberikan disini.”
Ini perlu dicatat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kita ; bahwa sesungguhnya di alam peta tidak hal-hal seperti itu. Ini akan menjawab pertanyaan terkait pembakaran rumah-rumahan.
“Seperti air hujan yang tercurah di bukit, mengalir turun mencapai lembah yang kosong. Demikianlah pemberian yang diberikan disini dapat berguna bagi sanak-saudara yang telah meninggal”
Perumpamaan tuang air dari gelas yang terisi ke gelas yang kosong bukan berarti kita tidak akan mendapatkan apa-apa dari pelimpahan jasa yang kita lakukan tersebut. Pelimpahan jasa yang kita lakukan tersebut, perbuatan yang kita lakukan tersebut akan berbalik kepada kita.
Lantas bagaimana sesungguhnya proses patidana tersebut?
1. Ada perbuatan baik yang dilimpahkan dari si pemberi kepada sanak familinya.
Sanak familinya harus tahu bahwa keluarganya sedang memberi jasa untuk mereka. Makanya dalam Paritta Patidana ada kalimat “bagi mereka yang tidak mengetahui, semoga para dewa memberitahukannya”
2. Karma baik kita ‘nyambung’ dengan leluhur.
Leluhur kita mempunyai vipaka (buah karma yang akan berbuah) yaitu timbunan karma baik sehingga mereka dapat merasakan dampaknya.
3. Dhamma Niyama – hukum alam Dhamma bekerja
Patidana dapat dilakukan bukan hanya pada upacara khusus saja. Setiap saat, setiap waktu, dimanapun setelah kita berbuat baik, lakukanlah patidana; karena kita tidak pernah tahu kapan saat yang tepat leluhur kita dapat menerimanya.
Dalam Agama Buddha tidak ada larangan upacara sembahyang mempersembahkan makanan dan minuman; yang tidak boleh adalah mempersembahkan makanan / daging hasil ‘potong’ sendiri. Sebaiknya makanan / daging yang dipersembahkan tidak dipesan khusus untuk sembahyang karena berarti kita mengkondisikan terbunuhnya makhluk (binatang) untuk keperluan sembahyang dan ini bukanlah hal yang baik.
Dari sisi kemampuan Indigo yang dapat melihat ‘makhluk halus’ yang datang ke ‘acara sembahyang’ hanyalah hadir dan duduk; tidak makan / minum hidangan yang disembahyangkan.
Terkait dengan bakti kita kepada leluhur
1. Mengingat jasa-jasa leluhur tidak harus menunggu acara besar seperti patidana; setiap selesai berbuat bajik lakukanlah patidana; bahkan dirumah-pun setelah membaca paritta limpahkanlah jasa kebajikan tersebut kepada para leluhur kita;
2. Silahkan lakukan persembahyangan menurut tradisi keluarga masing-masing; namun ingat 1 hal penting yaitu jangan menyalah-pahami bahwa sembahyang itu adalah untuk meminta; melainkan untuk mendoakan mengkondisikan agar karma baik para leluhur kita dapat berbuah;
3. Sesungguhnya di ‘alam mereka’ tidak ada perdagangan – pertukaran uang; jadi kalau kita membakar rumah-rumahan / uang-uangan sebenarnya ‘tidak sampai’. Tapi jasa kebajikan kita lah yang dapat mereka nikmati yaitu jasa baik kita membeli rumahan / uangan tersebut berarti kita membantu kehidupan penjualnya.
4. Ketika ada permintaan orangtua kita yang akan meninggal untuk tidak dikremasi, sebaiknya dituruti karena tidak ada aturan dalam Agama Buddha bahwa yang meninggal harus dikremasi.
Dari pandangan Indigo, yang sebenarnya ‘mereka / para leluhur’ butuhkan dari kita keturunannya adalah DOA ; doa yang benar-benar tulus dan fokus kepada ‘namanya’ ‘wajahnya’. Mereka membutuhkan doa dari keturunannya. Oleh karena itu kita wajib membantu mereka mengkondisikan dengan berbuat baik sehingga mereka dapat turut berbahagia atas perbuatan baik yang kita lakukan.
Saat acara patidana sebaiknya sebagai wujud bakti kita kepada leluhur hadirilah upacara patidana tersebut sampai selesai, tidak hanya ‘titip uang’ saja. Kehadiran kita akan lebih membahagiakan para leluhur kita karena berarti kita masih mengingat mereka.
Q & A
Q: Sekarang ini banyak paket patidana yang disediakan oleh vihara-vihara dengan variasi harga yang berbeda; apakah hal ini akan mempengaruhi besarnya ‘manfaat’ yang dihasilkan?
A: Konsep dana sesungguhnya lebih tergantung pada kualitas niat / ketulusan kita berdana; besar kecilnya materi tidaklah menjadi tolak ukur besar kecilnya manfaat yang dihasilkan. Niat itu sendiri harus kita jaga dalam 3 kondisi waktu yaitu: 1. Sebelum kita berdana : niat sudah baik; 2. Saat berdana : niat tetap harus berjaga baik; 3. Setelah berdana : tetap harus dijaga baik. Jangan sampai setelah berdana timbul penyesalan, ragu-ragu, perhitungan.
Q: Ketika kita hendak ber-patidana, kapan para leluhur kita tahu bahwa kita akan berdana?
A: Hendaknya kita mengkondisikan sejak jauh-jauh hari yaitu melalui pikiran kita bahwa kita akan berdana pada upacara patidana. Hanya melalui pikiran kitalah satu-satunya cara kita berkomunikasi dengan ‘leluhur’. Dengan kita mengkondisikan demikian maka ‘pesan’ kita akan tersampaikan dengan baik.
Q: Makhluk ‘tuyul’ apakah benar ada? Asalnya darimana? Lahir sebagai peta sudah menderita dan masih terus mencuri uang, kapan karma buruknya akan berakhir?
A: Dari pengetahuan indigo, bayi yang meninggal dalam kandungan berpotensi menjadi tuyul.
Dalam agama Buddha, tuyul adalah makhluk peta yang karena kondisi kelahiran sebelumnya serakah dan begitu melekat pada uang. Sehingga ketika terlahir sebagai makhluk peta, dan ada orang yang memiliki kemampuan untuk memerintah mereka maka jadilah tuyul yang suka mencuri uang.
Related Postview all
Menghadapi Kehilangan
Namo tassa bhagavato arahato sammāsambuddhassa. (3x) "Ratiyā jāyatī soko,ratiyā jāyatī bhayaṁRatiyā vippamuttassa,natthi soko kuto bhayaṁ. Dari kemelekatan timbul ... [Selengkapnya]
Atthalokadhamma - 8 Kondisi Kehidupan di Dunia
Namo tassa bhagavato arahato sammāsambuddhassa. (3x) Tujuan kita datang ke vihara adalah untuk belajar Buddha Dhamma, guna meraih kebahagiaan. Mengapa kita mau belajar Buddha Dhamma? ... [Selengkapnya]
Practice Our Mind, Healing Our Body
Ketika kita diberitahukan hal yang baik tentang diri kita seakan timbul rasa ragu, perasaan minder, merasa tidak pantas, apa benar kita baik?? Sebaliknya ketika kita diberitahu keburukan ... [Selengkapnya]
Memaknai Kehidupan Sebagai Manusia
Namo tassa bhagavato arahato sammāsambuddhassa. (3x)Terpujilah Sang Bhagavā, Yang Maha Suci, Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna. (3x) Kiccho manussa patilābhokiccham maccāna ... [Selengkapnya]
Kiat Menjaga Viriya dan Adhithana dalam Praktek Dhamma
Namo tassa bhagavato arahato sammāsambuddhassa (3x)Terpujilah Sang Bhagava yang Maha Suci yang telah mencapai Penerangan Sempurna (3x) Kita sebagai manusia tentunya memiliki Viriya / ... [Selengkapnya]