Tisarana
Puja Bakti Umum
Vihara Sasana Subhasita
Minggu, 14 Agustus 2022
Dhammadesanā: YM. Bhikkhu Atthadhiro Thera
Tema Dhamma: Tisarana
Penulis & Editor: Lij Lij
Namo tassa bhagavato arahato sammāsambuddhassa (3x)
Puññañ ce puriso kayirā
kayirāth’enaṁ punappunaṁ
tamhi chandaṁ kayirātha
sukho puññassa uccayo.
Ketika seseorang melakukan kebaikan
hendaknya ia mengulangi kebaikan itu
dan bersuka cita dengan perbuatan itu
sungguh membahagiakan akibat memupuk perbuatan baik.
- Dhammapada 118 -
Kita pergi berlindung kepada Tiratana yang mana di dalam Tisarana (Kalimat Perlindungan) kita mengungkapkan niat yang diawali dari Buddhaṁ saraṇaṁ gacchāmi, Dhammaṁ saraṇaṁ gacchāmi, Saṅghaṁ saraṇaṁ gacchāmi; sampai kita ulang sebanyak tiga kali.
Perlu dimengerti dan dipahami, Tisarana ini bukanlah sekedar ritual, tetapi ada nilai yang terkandung di dalamnya.
Umat Buddha senantiasa mengucapkan kalimat perlindungan Tisarana pada saat membaca paritta, namun tidak semua orang memahami apa yang telah diucapkan. Maka pada kesempatan ini kita perlu mendalami dan memaknai apa yang kita lakukan saat kita mengucapkan Tisarana.
Tisarana adalah pintu awal memasuki Ajaran. Sebelum kita banyak belajar Dhamma, sebelum kita mempraktekkan Dhamma, tentu ada pintu awal. Seperti hal nya kita memasuki ruang Dhammasala ini tentu tidak sertamerta secara tiba-tiba kita sampai di dalam ruangan ini. Misalnya Dhammasala ini pintunya terkunci, kira-kira bisakah kita masuk? Tentu tidak bukan. Kita bisa masuk ke Dhammasala ini karena kita telah mengawali dengan masuk melalui pintu. Pintunya terbuka sehingga kita memiliki kesempatan untuk masuk ke dalam Dhammasala ini.
Mengapa setiap kali kita mengulang Tisarana? Agar kita meneguhkan kembali bahwasanya Tisarana ini adalah pintu awal memasuki Ajaran. Mengapa kita perlu mengambil Tisarana? Perlu kita ketahui bahwa kehidupan yang kita jalani ini bersama dengan dukkha. Kalau tidak ada penderitaan, maka kita tidak berjuang untuk mengatasi penderitaan. Pengetahuan tentang penderitaan ini juga perlu kita pahami. Jadi kita bergegas pergi berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Saṅgha karena kita merasakan dan melihat adanya penderitaan. Dalam kehidupan ini, bertemu dengan penderitaan adalah hal yang lumrah dan wajar karena inilah warna kehidupan. Di dalam warna kehidupan inilah pengetahuan yang harus kita mengerti; tiga hal ini : berpisah dengan yang di cintai, berkumpul dengan yang dibenci, kenyataan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Kita memang berhak untuk merencanakan tetapi kadang apa yang direncanakan tidak sesuai dengan harapan. Jadi kita mengenal tiga hal ini sebagai pengetahuan. Ketika kita memiliki pengetahuan bahwa ketiga hal tersebut adalah penderitaan maka kita dapat segera menarik diri agar tidak menderita.
Kita semua tahu apa itu api. Api itu penting, tetapi jika kita tidak memiliki pengetahuan maka api dapat menimbulkan masalah, tidak punya pemahaman tentang teori api, salah meletakkan, maka akan terjadi kesalahan besar. Kita tahu tentang api sehingga kita dapat menempatkan api di tempat yang sesuai. Kita tahu api itu panas, maka ketika kita menyentuh api maka kita akan menarik diri agar tidak terbakar.
Sang Buddha adalah guru yang menunjukkan yang belum diketahui agar diketahui. Sang Buddha telah menyampaikan tentang penderitaan sebagai yang pertama yang perlu diketahui. Jika kita tahu adanya penderitaan maka kita sebisa mungkin berusaha bagaimana menarik diri agar kita tidak selamanya mengalami penderitaan. Yang paling dekat dengan kita adalah penderitaan, ketidakpuasan karena segala sesuatunya sukar dipertahankan. Sang Buddha mengatakan ”Sankhāra parama dukkha” semua yang terbentuk dari berbagai faktor pembentuk menimbulkan ketidakpuasan, apapun yang kita miliki. Karena kita paham bahwa yang terdekat dengan kita adalah penderitaan maka kita berusaha untuk bagaimana mengatasi penderitaan ini.
Dalam Tisarana yang kita ucapkan Buddhaṁ saraṇaṁ gacchāmi artinya Saya pergi berlindung kepada Buddha. Mengapa kita pergi berlindung kepada Sang Buddha? Karena di dalam Buddha ada nibbāna yaitu lenyapnya penderitaan. Maka dari itu kita pergi kepada Buddha agar kita tidak menderita. Di dalam Buddha ada nibbāna karena seseorang menjadi Buddha jika sudah mencapai nibbāna yaitu padamnya Lobha, Dosa, Moha. Nibbāna itu dicapai oleh mereka yang telah menghancurkan seluruh pengotor batin. Mereka yang telah menghancurkan seluruh pengotor batin disebut sebagai Arahat. Karena kita tahu bahwa kehidupan kita ini ada penderitaan maka kita pergi berlindung kepada Sang Buddha. Jika kita mampu melenyapkan Lobha, Dosa, Moha dan mencapai nibbāna maka kita akan menjadi Savaka Buddha yaitu seseorang yang mencapai ke-Buddha-an mengikuti petunjuk dari Samma Sambuddha.
Jadi ketika kita mengucapkan Buddhaṁ saraṇaṁ gacchāmi disini kita seharusnya memiliki pemahaman / mindset / cara pandang / cara pikir bahwa setiap individu yang datang berlindung kepada Buddha adalah mereka yang ingin mengakhiri penderitaan. Mengerti esensi dari kalimat perlindungan.
Dhammaṁ saraṇaṁ gacchāmi Saya pergi berlindung kepada Dhamma. Di dalam Dhamma ada apa? Di dalam Dhamma ada jalan menuju nibbāna. Jalan menuju nibbāna inilah yang disampaikan oleh Sang Buddha. Makanya kita selain pergi berlindung kepada Buddha, kita juga pergi berlindung kepada Dhamma.
Saṅghaṁ saraṇaṁ gacchāmi Saya pergi berlindung kepada Saṅgha. Di dalam Saṅgha ada apa? Di dalam Saṅgha ada para siswa yang telah mencapai nibbāna. Saṅgha adalah kumpulan dari siswa-siswa Sang Buddha yang telah mencapai nibbāna.
Jadi kalau kita mengucapkan Buddhaṁ saraṇaṁ gacchāmi, Dhammaṁ saraṇaṁ gacchāmi, Saṅghaṁ saraṇaṁ gacchāmi kita mengerti apa esensi dari yang kita ucapkan. Ketika kita mengucap Buddhaṁ saraṇaṁ gacchāmi maka kita memahami bahwa kita pergi berlindung kepada Buddha adalah untuk melenyapkan penderitaan karena di dalam Buddha ada nibbāna. Ketika kita mengucap Dhammaṁ saraṇaṁ gacchāmi maka kita memahami bahwa kita pergi berlindung kepada Dhamma karena di dalam Dhamma ada jalan menuju nibbāna. Ketika kita mengucap Saṅghaṁ saraṇaṁ gacchāmi maka kita memahami bahwa kita pergi berlindung kepada Saṅgha kumpulan siswa-siswa Sang Buddha yang telah mencapai nibbāna.
Jadi kita pergi berlindung kepada Buddha, Dhamma, Saṅgha karena sadar bahwa kita yang paling dekat dengan penderitaan. Karena kita menyadari adanya penderitaan maka kita menarik diri bagaimana supaya kita tidak menderita sehingga kita membutuhkan ‘tempat’ untuk berlindung yaitu Buddha, Dhamma, Saṅgha.
Gacchāmi pergi. Mengapa mesti pergi? Sebagai umat Buddha, untuk mengakhiri penderitaan maka kita perlu aktif. Bukan berarti kita hanya datang ke altar Sang Buddha untuk berdoa memohon Sang Buddha untuk mengurangi penderitaan kita. Tidak bisa seperti itu! Gacchāmi itu berarti kita harus pergi maksudnya adalah kita harus aktif, bukan menunggu perubahan tanpa melakukan sesuatu. Bukan cuma berharap tanpa berusaha. Di dalam Buddha ada nibbāna, di dalam Dhamma ada jalannya. Kalau kita sudah tahu jalannya maka mesti digerakkan, dipraktekkan. Sering kali kita berhenti hanya sebatas pada pengetahuan saja. Tahu perbuatan baik itu baik tetapi tidak dilakukan. Makanya dalam keyakinan umat Buddha ada kata Gacchāmi, kita mesti AKTIF.
Tidak bisa hanya meminta Bhante untuk mendoakan, adalah tidak mungkin jika kita sendiri tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman; dan setelah apa yang telah kita pahami tersebut hendaknya dipraktekkan dengan baik dan benar. Hidup ini adalah sebuah praktek, bukan hanya sekedar pengumpul pengetahuan.
Kelemahan dari pengetahuan adalah ketika pengetahuan itu tidak diulangi maka akan LUPA. Setelah memiliki pengetahuan maka pengetahuan tersebut hendaknya menjadi pendorong untuk dipraktekkan.
Kita tentu sudah memiliki pengetahuan yang mumpuni sebagai umat Buddha. Tinggal bagaimana kita mempraktekkannya dalam kehidupan kita. Mengapa Bhante menyampaikan Tisarana ini supaya kita tidak hanya berlindung tetapi benar-benar aktif pergi tidak hanya berpasrah diri. Karena dalam agama Buddha, tindakan itulah yang menjadi penentu. Jika dalam kehidupan kita merasa belum banyak perubahan maka yang perlu dipertanyakan adalah apakah kita sudah mempraktekkan? Dalam hal ini apakah kita sudah mempraktekkan Dhamma Ajaran Sang Buddha dengan baik dan benar? Jika penderitaan tidak berkurang berarti masih ada yang belum dilaksanakan, apa yang telah kita lakukan.
Terlahir sebagai manusia adalah suatu keberuntungan. Kehidupan bukan hanya sekedar melewati hari. Kehidupan bukan hanya untuk menunggu. Tekadkan setiap pagi ketika kita bangun tidur bahwa hari ini saya akan lebih baik, hari ini saya akan lebih sabar, lebih giat, lebih semangat dan hal-hal positif lainnya. Tidak hanya mengikuti pikiran refleks tanpa rencana hanya membunuh waktu melewatkan waktu yang seharusnya diisi dengan produktif menjadi terbuang sia-sia. Asset berharga dalam hidup bukan hanya materi tetapi adalah Waktu. Sangat disayangkan ketika sudah tua baru terpikir untuk ‘berusaha’. Sayangi ‘waktu’ anda dengan mengasah diri, mengembangkan kemampuan dan pengetahuan. Dibutuhkan persiapan untuk mengakhiri penderitaan. Keberhasilan membutuhkan banyak persiapan.
Dari kesenangan akan muncul ketakutan; dari kesenangan akan muncul kesedihan. Jika diri kita dikuasai kesenangan maka hanya tinggal tunggu waktu untuk sedih dan takut akan datang menghampiri. Jangan biarkan kesenangan-kesenangan menghalangi keberhasilan; lakukanlah persiapan yang sebaik-baiknya. Apa yang kita program setiap pagi menjadi semangat bagi kita untuk bertindak lebih baik setiap saat. Buah dari praktek kebaikan akan menimbulkan kebahagiaan.
Sang Buddha mengatakan : Vayadhamma saṅkhāra, Appamādena sampadetha segala sesuatu ini tidak kekal, berjuanglah dengan sungguh-sungguh. Kita harus berjuang sungguh-sungguh untuk mempergunakan waktu yang kita miliki dengan sebaik-baiknya. Masa depan kita tergantung pada apa yang kita lakukan saat ini. Hargai dan isi waktu muda dengan sebaik mungkin dengan hal-hal yang baik dan bermanfaat.
Dikala muda seseorang tidak mampu menghasilkan kekayaan, dikala muda seseorang tidak menjalankan hidup suci; ketika tua ia akan seperti burung bangau tua yang merana di tepi danau yang tidak ada ikannya. Kesengsaraan itu telah dibuat oleh diri sendiri tanpa disadari. Kita hidup berdekatan dengan kesenangan, tetapi jangan biarkan kesenangan menguasai kita sehingga pada akhirnya di kala tua kita menjadi menderita dan menyesal. Waktu sangatlah berharga, hendaknya setiap saat kita memotivasi diri untuk selalu menggunakan waktu dan kesempatan dengan sebaik-baiknya.
Demikian pengulangan Dhamma yang telah disampaikan oleh Bhante Atthadhiro. Semoga kita semua mendapatkan manfaat terbaik dari pengulangan Dhamma ini.
Sabbe sattā bhavantu sukhitattā.
Semoga semua makhluk berbahagia.
Sādhu, sādhu, sādhu.
Related Postview all
Kebencian dan Solusinya
Namo tassa bhagavato arahato sammāsambuddhassa (3x) Kālena dhammassavanaṁ Etammaṅgalamuttamaṁti.Mendengarkan Dhamma pada waktu yang sesuai, Itulah Berkah Utama. Pada kesempatan ... [Selengkapnya]
Perayaan Sangha Dana di Bulan Kathina 2564 BE / 2020
Namo tassa bhagavato arahato sammāsambuddhassa (3x) Dānañca dhammacariyā ca etammaṅgalamuttamaṁti. Perayaan Saṅgha dāna di tahun ini sangat berbeda dengan tahun-tahun ... [Selengkapnya]
Lima Kekuatan Dalam Kebajikan di Masa Covid-19
Hari Kemerdekaan Republik Indonesia adalah hari libur nasional di Indonesia untuk memperingati Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Setiap tahun pada ... [Selengkapnya]
6 Kualitas Yang Mengarah pada Ketidak-munduran
Namo tassa bhagavato arahato sammāsambuddhassa (3x) “Suvijāno bhavaṃ hoti, suvijāno parābhavo; Dhammakāmo bhavaṃ hoti, dhammadessī ... [Selengkapnya]
Membangun Kedamaian Batin dan Kesehatan
Antara pikiran dengan jasmani adalah saling berhubungan. Secara medis juga dikatakan demikian; bahwasanya ketika pikiran kita berisi dengan pikiran-pikiran negatif maka ... [Selengkapnya]